facebook instagram linkedin pinterest youtube
  • Home
  • About
    • About The Blog
    • About The Writer
  • Travel
  • Youtube Channel

Cave of Hira'

"Alya dalam rangka apa ke USA?"
"Konferensi itu gimana sih?"
"Fully funded ga Al? Enggak ya?
"Disana kan mahal bangettt Teh, kalo biaya sendiri..."
WKWKWKWKWKWK

Halo semuanyaaa! Di tengah hiruk pikuk menyiapkan proposal usulan penelitian yang gak beres-beres, inilah Alya yang sedang mencoba menuntaskan amanah berbagi pengalamannya ini. Namun sebelumnya, sekaligus ingin minta doa nih, agar urusan akademik Alya dilancarkan dan dimudahkan Allah. Aamiin. Ternyata nge-skripsi sedrama ini wk.

Okay, here we go! 
oOo

Tepat jam 12 malam, pesawat landing di John F. Kennedy International Airport. Kita langsung diarahkan menuju imigrasi untuk dilakukan pengecekan dokumen. Sediakan passport di tangan. Untuk melewati imigrasi, umumnya kita bakal ditanya-tanya tujuan ke USA dan pertanyaan sejenisnya. Aku cuma ditanya dalam rangka apa ke US, ikut konferensi perihal apa, dan ke Boston-nya kapan gimana. Selama punya jawaban pasti, ga cengengesan dan serius, pasti aman-aman aja kok (atau mungkin efek penerbangan malam kali ya jadi ga lama-lama banget ngeceknya). Setelah ngambil bagasi, kita langsung diarahin ke arrival gate dan beli kartu internet deh disono. Kartu internet yang ditawarkan sama mbak-mbak yang jualan disana lumayan beragam, tergantung dari masa aktif, jumlah kuota internet-sms-nelpon, dan harganya beda-beda, tergantung provider-nya juga sih kayanya. Sebelumnya kita mau beli paketan roaming aja dari kartu bawaan Indo, tapi setelah dipertimbangkan jatohnya beli kartu disana lebih murah dibanding beli paket roaming. Sebenarnya beda negara akan beda harga paket roaming, jadi aku sarankan untuk dikhatamkan masalah itu selama di Indonesia, karena harganya lumayan juga wohoho.
finally kita nyampe Amerika, teman-teman!
Malam itu, kita belum punya tujuan harus kemana dan karena udah tengah malam, akhirnya kita memutuskan untuk menunggu pagi di bandara sambil nyari penginapan selama disana. Malam itu, kita berkenalan dengan seorang cleaning service bandara, namanya Eddie. He was so friendly man! Malam itu kita sharing banyak sama doi soal kultur US terutama New York, sekaligus latihan listening dan speaking, berhubung Eddie speak so damn fast dan kumur-kumur plus swaggy gitu haha, jadi effort buat ngomong sama orang asing masih kerasa banget. Dan akhirnya Eddie pamit, karena udah harus mulai kerja. Hingga subuh tiba, kita belum nemu penginapan dengan harga yang cocok di kantong. Status sementara, masih belum jelas wk. Kita memutuskan untuk shalat subuh saja, dan ketika aku dan rombongan sudah bersiap ingin shalat di pojokan bandara, tiba-tiba seorang bapak-bapak berwajah timur tengah sambil bersiwak, menyapa kami dan bertanya bahwa kami ingin sholat, lalu beliau mengarahkan kita kalo di JFK ada Mushala, dan kita caw kesana deh untuk shalat subuh. Setibanya di mushala, for the first time melihat buk-ibuk dan bapak-bapak bulek para (calon) penumpang lain sedang shalat. Dan rasanya, terharu parah! Semenjak transit di China, baru ini kita bertemu lagi dengan muslim yang lain dan sama-sama nyari tempat proper untuk ibadah.
tampak luar Mushala JFK, bagian dalamnya lupa difoto (ada di vlog) 
Kami bertemu kembali dengan Si Bapak siwak itu di mushala. Setelah shalat subuh jamaah, Bapak itu bertanya soal tujuan kita ke US dan akan kemana. Kita pun jujur kalo belum punya tujuan harus kemana untuk beberapa hari ke depan. Qadarullah, tanpa ragu si Bapak menyarankan kami untuk berangkat ke Islamic Cultural Center of New York yang letaknya di Manhattan (bandara JFK letaknya di Queens). Sebenarnya, agenda konferensinya dilaksanakan pada tanggal 20-21 September 2018, tapi kita memang berencana untuk nyampe di US lebih awal supaya bisa adaptasi dulu sama lingkungan sana. Jadi, dalam beberapa hari ke depan, kita keliling daerah New York dan explore beberapa tempat.
ada lima borough di New York; Manhattan, Brooklyn, Queens, Staten Island dan Bronx
Pagi itu, kita langsung ke Islamic Center. Dari JFK ke Manhattan, kita bisa naik Air train bandara menuju ke stasiun Jamaica. Lalu dari stasiun Jamaica lanjut naik subway ke Manhattan. Untuk biaya airtrain JFK ini dipatok sebesar $5/orang dan untuk KRL/subway/kereta harganya $2,75/orang. Sebenarnya ada beberapa jenis MetroCard yang bisa dibeli. Mulai dari quick pass sekali jalan, MetroCard unlimited 7 dan 30 hari, dan MetroCard reguler. Sebenarnya, kalau mau hemat lebih baik beli yang unlimited 7 hari, hanya dengan $32/orang kita bebas mau naik subway kemana pun, full 7 hari, dan jauh lebih hemat. Tapi karena kita kurang riset, akhirnya kita beli MetroCard reguler yang setiap perjalanan dipotong $2,75/orang. Tapi kabar gembiranya, MetroCard ini bisa dipakai untuk naik subway dan bus kota juga.
MetroCard reguler 
before melihat medan perang
after naik-turun-transit subway; lelah ceu
Kita turun dari subway di 96th St station, kebetulan Islamic Centernya pas banget di antara 96th dan 97th Street dan tinggal jalan kaki dari stasiunnya. Walaupun harus geret koper, tapi trotoarnya pun mendukung parah, kalo di Indonesia begini contohnya mah gue langsung nyerah.

Mesjid Islamic Center itu besar dan tinggi menjulang, selain mesjid juga terdapat madrasah yang jadi tempat diadakan pengajian rutin untuk umum dan sekolah agama untuk anak-anak hingga remaja. Setiba disana, kita langsung wudhu dan masuk ke ruang utama mesjid, selonjoran dan nunggu waktu shalat dzuhur. Maklum aja, belum nemu kasur dua malam dan naik subway ga se-simple yang dibayangkan, kita bolak-balik keliling salah satu statiun di New York cuma karena ga ngerti sama cara baca sign-nya dan sambil nyeret koper itu, sesuatu. Saat kita tiba, lagi ada pengajian kecil-kecilan di bagian 'brothers'nya. That time I feel like, beneran gak sih islamophobia di Amerika itu ada? Hari pertama tiba disini aja aku udah bertemu sama banyak sekali saudara seiman yang sedang mengamalkan sunnah. Seumur hidup, aku gak pernah meihat seseorang bersiwak di bandara Indonesia, but I found this case here. And now what, aku tiba di bangunan raksasa tempat ilmu Islam ditularkan kepada semua usia di Amerika. Mana di luar ruang utama mesjid tersedia nasi briyani, susu dan kurma yang gratis dibagikan kepada jama'ah setelah shalat. WOW!
comot dari google; and feel amazed when realized I've been there
Setelah shalat dzuhur berjamaah, kita dihampiri oleh seorang ibu, nama beliau Mona. Beliau yang mengisi kuliah umum di madrasah Islamic Center setiap hari Ahad. Mrs. Mona ramah sekali, beliau sesenang itu ketika melihat kita untuk kali pertama singgah di Islamic Center, bertanya kabar, bertanya asal, dengan mata yang berbinar dan senyum terkembang luas. Seperti orang lain pada umumnya, beliau bertanya kami tinggal dimana, dan ketika beliau tau bahwa kita baru aja tiba dari Indonesia dan belum punya tempat tinggal, beliau langsung dengan gercepnya nemenin kita ke kantor Islamic Center untuk nyari 'bala bantuan'. Beliau me-lobby pengurus mesjid untuk memberikan bantuan dengan segala cara, padahal kita baru kenal.

Siapa coba yang mau berurusan dan menampung orang asing di rumahnya, begitu pula pengurus di Islamic Center, walaupun Mrs. Mona udah ngotot minta tolong, tapi tetap saja harapan kita tidak berbalas, mereka hanya menyarankan kita untuk ke mesjid Indonesia di Queens, dan akhirnya hari itu kita pulang dengan tangan kosong. Mrs. Mona berpesan agar kita terus memberi kabar, kita mengiyakan.

Sambil nunggu ashar, aku yang dimandatkan sebagai ibu ketua pada 3 hari pertama di New York mengulik-ngulik kembali aplikasi airbnb, nyari tempat bernaung. Akhirnya, pilihan tertuju kepada sebuah rumah yang paling terjangkau harganya yang terletak di daerah Astoria, Queens. Sore itu, kita langsung menuju ke penginapan. Petualangan hari pertama diakhiri dengan remuknya badan dan rasa kantuk tidak tertahan, jetlag belum dibayar. Alhamdulillah, pilihan Alya emang cakep wq. Airbnb yang kita pesan sangaaat nyaman dan serasa rumah sendiri deh pokoknya. Lingkungannya juga asri dan rumahnya kaya rumah di The Sims hahaha. Harganya juga murah jika dibandingkan yang lain, tapi mahal kalau di-ke-rupiah-in, 3 hari 2 malam dipatok 3 juta rupiah. Mantap kan.

Tips kalo kamu nyari penginapan di airbnb, pasang filter sebanyak mungkin. Harga, wilayah, review, rating khatamkan. Pastikan amenities dan fasilitas yang ditawarkan mendukung. Kaya di airbnb kita, disediain setrika, hair dryer, serumah cuma kita berempat jadi bebas mau salto juga, sabun-sabunan juga ada, kulkas peralatan dapur lengkap jadi masak pun bisa, ke stasiun terdekat juga tinggal jalan kaki 5 menit nyampe. Worth it banget alhamdulillah! Oiya, satu lagi. Biasanya di tampilan awal penawaran yang diliatin sama airbnb itu hanya harga sewanya, belum include cleaning and service fee. Jadi harus jeli juga ngeliat opsi yang ditawarin, cari yang harga CS fee nya gak terlalu tinggi.
Lingkungan airbnb kita; I am a big fan of American architecture! 
Hari kedua sudah lebih well planned dibanding hari pertama. Banyak destinasi yang dikunjungi dan alat transportasi juga sudah matang diperkirakan. Destinasi pertama pada hari itu, kita menuju ke komplek WTC, lokasi yang dikenal juga dengan sebutan Ground Zero dan khas banget dengan 9/11 National Memorial and Museum-nya. Tempat dimana sebab islamophobia di Amerika semakin memantik setelah kejadian serangan pada 11 September 2001 yang mengatasnamakan muslim sebagai sebab dari kejadian tersebut. Tragedi kemanusiaan yang merenggut ratusan nyawa manusia yang bekerja di kompleks tersebut bahkan para petugas penyelamat seperti petugas pemadam kebakaran, medis dan polisi.

Aku masih ingat, akhir tahun 2015 lalu aku memaksa Nada dan Dina untuk nemenin aku nonton film Bulan Terbelah di Langit Amerika. Aku baca Novelnya dari SMA dan berhasil buat aku kagum parah sama US karena itu jadi buku pertama yang latarnya di Amerika karena kebanyakan buku yang aku baca, plot-nya di Eropa. Untuk bisa benar-benar berdiri di tempat kejadian 17 tahun lalu itu bikin aku gak henti-hentinya kagum sama jalan cerita yang Allah pilihkan. Ga berani mimpi untuk bisa ke Amerika setelah ditolak sama Turki dan Mesir dua tahun berturut-turut, tapi malah jalan yang Allah pilihkan di bumi sunda ini jadi jalan baru untuk mengunjungi negara adidaya di dunia. Bayangin, sekali jalan, Amerika dan China terlampaui. Alhamdulillah.

Komplek WTC terdiri dari berbagai gedung mewah perkantoran pusat keuangan dunia berputar. Kita berhenti di stasiun subway termahal di dunia, Oculus. Stasiun yang toko mewahnya lebih keliatan dibandingkan gerbang ke subway-nya. Keluar dari Oculus kita langsung dihadapkan dengan gedung-gedung tinggi perkantoran. Di kompleks itu, selain gedung Oculus juga ada tower WTC 2, 3, 4, 5 dan 7, dan pastinya 9/11 museum and memorial-nya. 9/11 memorial yang dimaksud adalah dua kolam besar yang dibangun persis di lokasi gedung kembar WTC dulu. Di pembatas pinggiran kolam ini diukir nama nama korban yang jatuh ketika tragedi belasan tahun lalu. yang biasanya ada mawar putih yang diletakkan di nama-nama tertentu dan aku baru tau kalo mawar putih itu diletakkan pada setiap tanggal lahir orang bersangkutan.
numpang voto
gedung mewah di sekitaran komplek WTC
isi dalamnya Oculus ;pintu stasiun, toko mewah, dan Defi
9/11 Memorial: a place to reflect
Sesombong-sombongnya aku udah research panjang untuk perjalanan hari itu, ternyata akhir-akhir ini baru tau kalo untuk masuk ke museum 9/11 pada hari selasa itu gratis-tis-tis, which kita pergi kesana pada hari senin dan kita ga masuk ke museumnya gara-gara mahal. Padahal hasil review dari beberapa travel blog dan video bertutur bahwa isi museumnya bagus banget dan feel-nya dapat. Pelajaran untuk kali berikutnya w balik lagi ke US nih (aamiin-in dong). Selepas dari komplek WTC yang tourist attraction pisan, kita lanjut ke Brooklyn bridge yang fenomenal dan megah, banget.

Brooklyn bridge ini adalah jembatan suspensi yang dibangun dari tahun 1868 hingga 1883 dan menghubungkan antara Brooklyn dan Manhattan. Di sebelahnya Brooklyn Bridge ada Manhattan Bridge yang juga menghubungkan Manhattan dan Brooklyn. Akhirnya kita putu-putu disana sambil ngamatin taksi kuning dan mobil-mobil mewah lalu lalang, juga sambil ngamatin sungai dan gedung-gedung pencakar langit New York yang masih berbekas sampai sekarang. Aku seneng banget sama US yang sangat menghargai kebutuhan para warganya. Di tempat umum, bisa dipastikan fasilitasnya ramah untuk disabilitas, maka ga heran ngeliat orang berkursi roda kemana-mana sendiri untuk melanjutkan hidup --bukan ngemis, dan believe me kalo di trek pejalan kaki di Brooklyn Bridge ini dibagi dua bagian, sebelahnya untuk pejalan kaki, sebelahnya lagi untuk sepeda dan skateboard, I am amazed, gaes. Hingga gerimis mulai turun, akhirnya kita turun dari jembatan dan segera melipir ke taman terdekat untuk makan siang lezat bekal dari Indonesia. Taman-taman di New York itu sesuatu banget. Kaya taman yang memang fungsinya untuk kumpul bareng keluarga, untuk ngopi sama temen, atau sekedar duduk sendiri ngamatin tupai ngutipin kacang kayak di tipi. Pokoknya, termanfaatkan habis!
BROOKLYN BRINDGE, I ADORE YA!
happy face macam gini bentuknya. bagian atas untuk pejalan kaki, bagian bawah untuk mobil-mobilan. 
gedung pencakar langit di lower manhattan dari brooklyn bridge
Selepas dari Brooklyn Bridge dan makan siang, kita jalan ke China town yang kebetulan ga terlalu jauh. Satu hal yang bikin aku kagum parah sama New York (dan Boston) dan mungkin daerah lain di US adalah trotoar untuk pejalan kakinya luaaaaas banget, bisa dipake mobil lewat. Dan orang-orang sana emang kaya lebih prefer kemana-mana jalan, apalagi daerah turis di lower Manhattan itu deket-deket. Dan, one more fact, they walk sooooo fast, kalo ngikutin ritme jalannya mereka dijamin ngos-ngosan.

Di salah satu taman di daerah China town, lagi ada kumpul-kumpul lucu para kakek nenek etnik china. They're so damn cute! Membuka mata aku kalo umur itu gak jadi batasan. They looked soo tough dan masih nge-alokasiin waktu untuk bercengkrama sama temen-temen sebayanya, menurutku itu keren! Gak jauh dari taman itu, kita masuk ke pertokoan di daerah China Town yang menjual berbagai pernak-pernik oleh-oleh New York dan toko-toko khas chinese-nya. Kalo mau belanja oleh-oleh yang beragam, China Town sepertinya bisa menjadi tujuan. Di sekitaran sini juga banyak toko-toko yang menjual produk kosmetik korea, kaya The Saem, Nature Republic, dan sejenisnya. Tetanggaan sama China Town, ada daerah yang namanya Little Italy, yang kebetulan hari itu lagi ada food bazar khas Italy di sepanjang jalannya. Walaupun kita ga jajan apapun karena ragu sama ingredient-nya yang gatau halal atau gak, at least udah melihat berbagai makanan khas Italy yang cetar membahana dan berukuran segede gaban.

it's all about making time.
China Town x Little Italy
gate of the Manhattan Bridge yang tidak sengaja kita temukan!
Sore itu, kita belum shalat ashar-dzuhur. Setelah cukup berkeliling China Town dan Little Italy dan kaki kita juga udah mulai menyerah dan serasa mau copot, kita langsung mencari mesjid terdekat. Dan langsung menuju ke Mesjid Ar-Rahman sesuai dengan apa yang mesin pencari Google katakan. Mesjid Ar-Rahman itu hanya ruangan di lantai basemen dari dua toko makanan khas Timur Tengah yang lalu dimodifikasi dan menjadi mesjid. Mesjidnya luas dan sangat sederhana, tapi keajaiban-keajaiban yang kita tunggu-tunggu bermula dari sana.

Setelah shalat maghrib-isya, kita beranjak cabut dari Mesjid. Di pintu keluar, mata ini langsung tertuju ke banyak makanan yang dijajakan di atas meja. Maklum, laper. Kita memberanikan diri untuk nanya ke Bapak-Bapak disana perihal hak milik makanan di atas meja, dan ternyata itu adalah makanan gratis untuk orang yang berpuasa sunnah senin-kamis. Walaupun kita lagi ga puasa sunnah, si Bapak ngebolehin kita untuk ngambil makanan yang ada, so heppy dapat makanan gratisan~
bagian dalam mesjid Ar-Rahman 
sekresek merah itu makanan gratisannya.......
Selagi makan, ada seorang Bapak penjual buku, Mr. Fahim we called him. Beliau nawarin kita kurma, dan berujung ngasih sekotak kurma yang enak banget itu untuk kita. Literally sekotak kurma penuh dan baru dibeli cuy. Selain kurma kita juga dibekelin makanan sekresek gedek, mulai dari roti, kacang, zaitun, banyak banget, bisa dipake untuk sarapan besok plus halal. Lalu Mr. Fahim pun bertanya, dimana kita tinggal dan dalam rangka apa ke US. Kita menjelaskan panjang lebar, juga perihal besok airbnb kita jatuh tempo dan kita belum tau harus kemana. Just like Mrs. Mona, he got shocked. Lalu doi minta nomor telepon kita buat dihubungi karena doi punya kenalan yang punya penginapan harga miring. We are totally excited dan senang, walaupun kita gabisa dan gamau berharap banyak. Lagipula, kita sudah merencanakan untuk berangkat ke Mesjid Al-Hikmah besok untuk mencari bala bantuan wkwk, mesjidnya orang Indonesia yang jaraknya cuma 30 menit kalau jalan kaki dari airbnb.

Malam itu, sebelum balik ke airbnb, kita sempatkan untuk keliling jalan kaki (walau udah lemes parah). Malam itu pula kita ketemu sama Empire State Building yang fenomenal dan yang jadi ciri khasnya New York. Iya, gedung tinggi tempat si Kingkong manjat di pilem ituloh. Dan detik itu, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Bahkan berdiri tepat di depan gedungnya (gabisa masuk, udah tutup, malam). Alhamdulillah.
depan pintu empire state, so heppy!
empire state of mind--playing
Lalu, malam itu kita menutup pengalaman bahagia hari kedua menyusuri New York. Kita balik ke airbnb dengan subway, kaki pegel dan pengalaman bahagia.

Kita lanjutkan ceritanya di lain waktu. Nantikan!
October 10, 2018 No comments

"Ud'uunii Astajib Lakum."
Mintalah pertolongan hanya kepadaKu, agar Aku tolong kalian.
Kata Allah begitu.

ALYA SUDAH MENGINJAKKAN KAKI DI AMERIKA GAES!!!!!

Negara yang tidak pernah ada di bucket-list sebelumnya. Negara yang dengan ngebayanginnya aja, bikin merinding mual-mual deg-degan. Negara yang berhasil me-lima belas kali lipatkan rupiah yang ada di kantong. Dan Alya bisa benar-benar kesana!

Akan Alya ajak kita semua bernostalgia.

oOo

Siang itu, perjalanan dari Bandung menuju Bandara Soetta terasa lancar-lancar saja. Walaupun jalanan padat (ya biasa, Bekasi macet), namun kami optimis akan tiba jauh lebih awal sebelum waktu boarding. Saat itu, waktu menunjukkan pukul 16.07 WIB. Sudah tiga jam kami berada di perjalanan, hingga akhirnya aku bertanya untuk memastikan bahwa kita membawa dokumen penting yang akan dibutuhkan. Dan, unexpected things that actually expected will be happen, happened.

Defi ndak bawa passport ketika kita akan melaksanakan penerbangan internasional dan itu bikin heboh binti panik binti over thinking semua orang bahkan mang supir travelnya. Sebabnya remeh, soal asumsi. Dan awal dari perjalanan ini yang membuat kami (para cewe-cewe yang senantiasa suka 'merasa' ini) belajar untuk mengendalikan perasaan dan mandiri. Thanks God, kami punya teman-teman asrama yang sigap dan mau aja dimintai tolong. Akhirnya, passport aman menyusul (walaupun nyampenya mepet banget dengan waktu boarding) dan kami pun dapat hikmahnya. Ngomong-ngomong soal pasport, ada satu cerita optimis yang bikin aku kagum sendiri hingga hari ini. Tahun 2016 lalu, ketika aku lagi liburan di Aceh, keinginanku untuk membuat pasport besaaaar sekali, setelah pasport pertamaku sudah jatuh tempo ketika masih SMP dulu, aku gak memperpanjang masa berlakunya. Namun liburan kali itu aku keukeuh ingin balik ke Bandung dengan membawa pasport. Ketika mamak tanya, emang aku bakal butuh pasport untuk apa? Dengan lantangnya aku menjawab, "Pasti dibutuhin mak, selama kakak kuliah pasti kakak akan keluar negeri dan butuh pasport ini." Siapa sangka, ucapan sederhana itu dikabulkan oleh-Nya. Pelajaran untukku, agar membiasakan berkata yang baik-baik, agar sekaligus menjadi doa yang baik-baik pula.

Pukul 00.15 WIB, 15 September 2018, pesawat bergerak dan kami pun terbang meninggalkan tanah air. Penerbangan pertama Dias, Penerbangan Internasional pertama Defi, dan Penerbangan yang telah lama dinanti oleh Alya.

Bismillahi majreha wa mursaha, inna rabbi laghafuururrahim.


Pagi, pukul setengah sembilan waktu setempat kami tiba di bandara Beijing. Jadwal transit yang lamaa sangat membuat kami khatam mengelilingi Bandara seharian. Kami transit di Beijing Capital International Airport (BCIA). Menurutku pribadi, fasilitas yang ditawarkan oleh bandara ini cukup lengkap, bahkan fasilitas yang disediakan oleh maskapai Air China juga cukup memuaskan. Toko-toko di Bandaranya lumayan bisa dipakai untuk membunuh waktu transit belasan jam, namun satu hal yang cukup disayangkan, BCIA ga punya minimarket--atau di terminal lain ada kali ya?

Mempersingkat muqaddimah, berikut telah aku rangkum beberapa hal yang harus disiapkan jika suatu hari nanti akan berlibur di China atau sekedar transit panjang seperti kami.
welcome to China!!!
Pertama, jika sudah memasuki wilayah China, jangan berharap bisa instagram-an, atau whatsapp-an, atau menggunakan berbagai aplikasi internasional lainnya. They blocked almost every international application. Jadi, satu-satunya cara untuk mengakses aplikasi yang di-block adalah dengan mengaktifkan VPN. Maka, poin pertama, jangan lupa install aplikasi VPN sebelum terbang ke China ya! Karena aku pakai android, jadi langsung aja ke playstore > search "VPN" > muncul berbagai Opsi VPN > Install. Aplikasi VPN yang aku pakai adalah 'Turbo VPN'. Well, dari semua aplikasi lain, Turbo VPN ini yang rating-nya paling tinggi, tapi setelah diaktivasi kadang suka ke-disconnect sendiri. Tapi kayanya itu faktor dari wi-fi bandara yang hilang-hilangan juga. Intinya, jangan lupa pasang aplikasi VPN-nya!
make sure to install the VPN or you'll be disconnected from the world :p
Lalu fakta kedua, di BCIA itu ga ada makanan halalnya :(
Maksudnya, toko khusus yang label halalnya memang udah verified. Jadi, pastikan bawa bekal yang banyak, apalagi untuk yang bawa anak kecil yang gampang rewel kalo lapar. Bawa makanan instan kemasan yang tinggal seduh, seperti mie instan, bubur instan, oatmeal, dan sejenisnya. Jadi nanti tinggal seduh deh, air minum (panas-hangat-dingin-lengkap) bisa diambil di beberapa titik water fontain bandara. Pengalamanku sebelumnya yang ga bawa bekal apapun di jinjingan karena segala makanan dimasukin koper, kita makan siang di restoran thailand dan memesan menu TomYam seafood. Namun ternyata, di toko yang sama juga dijual menu pork dan tidak dipisah penyajian dan masaknya. Big mistakes!
Jadi, pastikan makanan kemasan ada di cabin luggage yap!

Lalu, fakta ketiga. You can take shower di BCIA :)
Kabar gembiraaa! Setelah penerbangan selama kurang lebih 8 jam dari Indo, kamu bisa pakai fasilitas Shower ini untuk menyegarkan badan. Apalagi transit panjang kaya kita sebelumnya --14 jam. Fasilitas showernya juga nyaman banget, karena disediain sabun, sampo, toilet untuk buang air terpisah, juga closet untuk pakaian. Jadi, serasa rumah sendiri udah! One thing, sediakan handuk kecil di cabin luggage supaya ga kebingungan ngelap pakai apa wkwk.

Fakta keempat. General fact, almost every international airport ga nyediain jet shower di toiletnya, jadi pakai tissue. And I cannot :)
So, make sure to bring empty bottles everywhere you go yaa.

Selanjutnya, you won't find Mushala di BCIA. Maka, prayer mat harap sedia di cabin luggage supaya ga kebingungan nyari alas shalat nantinya. Selanjutnya, mengenai kultur cewek Asia Tenggara kalau shalat biasanya pake mukena, tapi kalo kamu pake mukena lalu shalat di tengah-tengah bandara, maka saya yakin, kamu akan menarik perhatian orang berbagai rupa wkwk. So, make sure to wear proper cloth yang bisa dipakai shalat, untuk wudhu sendiri bisa di wastafel shower karena terpisah dari wastafel yang lain. Next, cari tempat sepi untuk shalat deh!

wherever you are, don't forget to pray~
Setelah seharian melanglang buana di bandara, akhirnya tibalah waktunya untuk melanjutkan perjalanan. Last trick, bawa air minum dari bandara sebelum naik pesawat, karena di pesawat minuman yang diberikan cukup minim, apalagi kalau kebutuhan minum kamu tinggi. Jangan sampai kamu kehausan dan dehidrasi hanya gara-gara ga cukup minum.

Semoga tips di atas bermanfaat, ya!
oOo

Sore itu, ruang tunggu BCIA yang mulai senggang. Sambil menunggu matahari terbenam, kita melingkar. Memang perkara niat itu harus terus-menerus diperbarui, agar tidak tersasar di tujuan. Dan, diperjalanan kita menuju Amerika ini, kita kembali harus mengingatkan diri kepada tujuan. Agar perjalanan wow ini selalu dalam ridha-Nya.
Maghrib in BCIA. Cantek kali weh pemandangannyaa! (kiri ke kanan: Alya, Teh Juan, Dias, Defi)
Transit 14 jam di bandara terasa tidak cepat dan tidak lambat. Kami masih belum menentukan akan kemana selanjutnya setelah tiba di Amerika nanti. Penginapan belum dipesan, itinerary belum rinci dituliskan, uang di kantong juga sangat pas-pasan. Kami khawatir, kami panik. Maka, satu-satunya hal yang harus dilakukan jika merasa tidak tau kemana harus bertopang adalah dengan membagi keresahan, dan bersama-sama meminta petunjuk jalan kepada Allah. Sore itu, bagiku adalah titik balik. Sore itu, kita melingkar, dan menentukan komitmen selama (dan semoga sepulang dari) perjalanan. Sore itu, kita berikrar tidak ingin menjadikan perjalanan tersebut sia-sia dan bertekad menjadikan perjalanan ini perjalanan yang menambah iman. Sore itu, kami kembali berangkulan, menentukan amal yaumi apa yang harus selalu dikerjakan selama di perjalanan. Maka dhuha, tilawah, tahajjud, dzikir, harus menjadi pembiasaan. Dan malam itu, akhirnya kami benar-benar melanjutkan perjalanan, menuju John F. Kennedy International Airport, New York, USA.

Bantu doakan!
<3
October 04, 2018 No comments
Today was extremely one of the best days I've ever had since last 20 years living. Banyak sekali hal yang sekaligus Allah bayar dalam sehari penuh untukku. I feel so blessed and lucky and can't stop praised His kindness (why not everyday!). To make it easier to read, let me make them to severals sub-tittles lah yaa.

Manis itu Buah Sabar

Kemarin aku cukup puas dengan seharian yang well spent dan kerasa produktif. Pagi-pagi aku udah harus ke Kantor SF untuk ngedit video yang footage-nya udah tiba setelah dikirim dari Pulau Kalimantan, tapi aku belum bisa menyelesaikan editan karena siangnya aku dan teman-teman asrama harus ngejar jadwal tes TOEFL yang diselenggarakan gratis oleh sebuah lembaga. Sore tiba, aku dan Dias pun mengejar waktu untuk men-follow up beberapa proposal yang telah disebar beberapa minggu sebelumnya. Alhasil, setelah maghrib, ketika kami dalam perjalanan kembali ke asrama, aku iseng membuka email, teringat kali saja ada email balasan dari para calon sponsor yang masuk ke dalam saringan spam. Dan, di detik itu juga aku takjub dengan email yang masuk dan tidak terbaca olehku. Email dari Lala! Isinya perihal aku yang diberikan kesempatan untuk bisa ikut kegiatan Young on Top National Conference (YOTNC) 2018 di Jakarta, esok harinya. YAP! Aku baca berulang sambil memastikan bahwa bener, acara dimulai pukul 08.00 WIB besok. Terlepas dari pukul berapa acara dimulai, aku senang bukan kepalang. Pasalnya, kesempatan kursi gratis hanya tersedia sebanyak 20 kursi untuk seluruh XLFL se-Indonesia. Ngeliat speaker yang akan hadir, berhasil buatku ngiler dan shalawatan tanpa putus ketika selesai nge-apply diri untuk bisa dipilih ikut ambil bagian. Maka, jangan heran jika aku senang :)
Detik itu juga aku paksa dias untuk memutar haluan, menemaniku membeli tiket transportasi apasaja yang bisa aku pakai untuk tiba di Jakarta. Aku tidak berpikir dua kali, niatku sudah bulat. Baiklah, tiket kereta dipesan untuk keberangkatan 04.15 WIB esok pagi. Malam itu, aku excited bukan main, lelah seharian terbayarkan. Do you ever feel such an unexpected present comes to you without even you expect them before? That feel lah yang I feel :)

Ketemu Pak Presiden

I am not a big fans of Mr. Jokowi, literally yang biasa aja gitu. But today, after realizing I am in the same hall as him, listening to his speech directly and got my hand shaken with his was something!
I am the one who always keep the distances for not to let my skin being touched by someone non mahram (pray for me to be istiqamah in this case). But took a look by your bare eyes that the first person of your country stood exactly in front of you was something. I do regret sooo much for giving such a bad example toward everyone that view my instastory, but at the same time and moment i realize something that flips my lens.

First, it is so hard to be consistent and stand on your principle. But that hardness always tastes good in the end. Since we are living in a place full of examination, in the place we called dunya. No matter how hard, please believe me that bitter in the front is so much little than the regret you will face if you deny your own principle. Even me right now, feel so much regret for giving my hand and let someone non mahram of me touch my skin. So, don’t deny your own principles just for a temporary happiness and an only ‘kesempatan langka’.

source: unsplash.com
Second, I am addicted to the happy-excited-blessed-feeling that I got after know that I stood in front of the first person of the country and even shook his hand. It got me reflect hard towards a question I ever wonder in my own.
'What make people love to chase Jannah just because of their will to meet their God?’
I can’t even let myself remember of my old way of think, how can such questions came to my mind?
While being able to meet your eyes with the first person of a country make you pride and can’t describe the feeling, what if that happened between me and the president of every president? What kind of feeling will I exactly feel? No surprise, if people I know always catch for the good deeds and hoping to meet their God, Allah SWT, in the best condition.
Allah, how fool I am, and how kind you are to show me the right way with a very smooth warn.

Wong Ndeso.

Lahir dan tumbuh di Aceh lalu akhirnya dapat menikmati suasana kota besar di pulau Jawa adalah sumber insight yang kaya bagiku untuk melihat hidup dari berbagai perspektif. Termasuk berbagai keuntungan yang dimiliki 'orang kota' karena tinggal di tempat yang terjangkau. Teringat sekali, ketika aku masih duduk di bangku SD dan tinggal di dekat stadion terbesar di Banda Aceh. Dalam setahun kira kira hanya ada dua hingga tiga konser yang diadakan di stadion tersebut. Untuk bisa hadir dan melihat artis ibukota manggung merupakan suatu hal yang langka. Tapi, ketika aku menginjakkan kaki di pulau jawa, banyak sekali akses yang terbuka dibandingkan dulu ketika aku masih tinggal di Aceh. Aku dengan gampangnya bisa ke pesantrennya Aa Gym, yang dulu hanya bisa aku angan-angankan dimana letaknya. Lewat perantara Beasiswa Pemimpin Bangsa aku bisa bertemu dengan Pak Sandianga Uno. Kemarin sore, aku dan teman asramaku pun menemukan rumah keluarga besarnya Raffi Ahmad si artis Ibukota yang letaknya cuma 900 meter dari asramaku.
Lalu, hari ini pun aku bertemu dengan orang-orang hebat yang tugasnya bolak-balik masuk  stasiun TV untuk berbagi, Presiden RI, CEO dan founder berbagai perusahaan ternama, yang semula hanya bisa aku lihat dari balik layar TV, atau berbekal kuota untuk nge-YouTube. Ketika keputusanku untuk ingin melanjutkan kuliah di pulau jawa dulu tercetus, sungguh aku tidak pernah merencanakan akan bertemu dengan Founder Ruang Guru, CEO Tokopedia atau CEO Garuda Indonesia yang untuk dapat menaikinya saja ketika pulang ke Aceh harus menunggu hingga 3 tahun lamanya. Sungguh banyak sekali hal-hal di luar ekspektasi yang terjadi, dan semuanya adalah bagian dari rencana-Nya.

all of these speakers are crazy!
Terlepas dari berapa kali setahun artis ibukota manggung di Aceh, aku berpikir lebih jauh tentang betapa sedikitnya anak muda Aceh terekspos dan diberi kesempatan untuk bisa bertemu dengan ‘orang-orang hebat (inter)nasional’ lalu bertukar pikiran dan melihat bagaimana telah berkembangnya dunia. Or, let me expose a lil bit of my dream; ‘Dear Acehnese young, world is revolving more times now, there are still so many homework to do, set yourselves as the one who responsible of it, looking for inspirations as much as you can from people who grow earlier, and one day let me be someone who can represent you as someone who can do something beneficial very well. Don’t let the island be the limit!'

Penonton terkenal.

Pada segmen terakhir acara konferensi nasional tadi, kami diberi kesempatan untuk bisa ikut terlibat dalam syuting program Big Circle Metro TV yang mengangkat tema soal ‘Menjadi entrepreneur atau professional’. Bintang tamu yang hadir benar-benar pembicara yang terbit dari berbagai pahit getir hidup. Secara garis besar, aku menarik beberapa poin kesimpulan dari ketujuh orang yang duduk di atas panggung tersebut.

Pertama, seluruhnya dari mereka pernah gagal, dan belajar dari kegagalannya. Kedua, seluruhnya dari mereka sungguh berusaha dengan keras untuk bisa mencapai titik ini. Mereka berhasil menunda kenikmatan, ability to delay the gratitude. Ketiga, mereka semua gemar membaca. Sehingga banyak sekali hal-hal yang bisa diakselerasi pembelajarannya dengan membaca. Lalu aku belajar banyak.


Selain topik yang menarik untuk dibicarakan, dan bintang tamu yang diundang hadir, hari ini untuk pertama kalinya aku belajar bagaimana suatu acara TV diproduksi. Para penonton memiliki andil besar dalam menyukseskan acara. Kamera ada di berbagai sudut ruangan dan siap menangkap gambar terbaik dari seisi ruangan. Saat itu pula aku teringat dengan apa yang temanku ucapkan ketika pagi hari ketika acara baru akan dibuka. Saat itu aku dan temanku duduk tepat di sudut para pers meliput dan mengambil gambar. Ntah bagaimana percakapan yang aku mulai, hingga akhirnya temanku mengatakan hal ini, yang masih berbekas hingga kini.
“Ngapain masuk tv, terkenal, tapi cuma jadi penonton.”
Kalimat itu singkat dan membekas. Dan banyak benarnya.

Maka, muara dari tulisan ini hanya ingin mengingatkan diri sendiri untuk tidak merasa sangat bangga hanya karena telah dapat duduk di kursi penonton. Sudah saatnya bangun dan menyiapkan diri untuk menjadi ‘pembicara’. Agar dapat meluaskan manfaatnya ke segala arah.

Baiklah, sepertinya ini menjadi akhir cerita. Aku sudah sangat pegal-pegal dan ngantuk. Perjalanan pulang pergi Bandung-Jakarta hari ini sungguh memberi pelajaran. Alhamdulillah.



Mau nepuk kasur dan beristirahat,
25.08.2018
August 25, 2018 No comments
Kali ini, tulisan akan sedikit panjang. Aku gabungkan cerita soal harapan yang terpaksa dibuang dan realita yang  tidak pernah ada pada daftar keinginan di buku catatan sebelumnya. Semoga ada yang dapat dibawa pulang :)

oOo

Jika temen-temen berkenan nge-cek harga tiket pesawat untuk perjalanan ke Amerika, maka harga yang paling murah yang bisa didapatkan adalah sekitar 10 jutaan hanya untuk ongkos pergi. Lantas duit di rekening (hasil sponsor sementara) hanya bisa memberangkatkan seorang saja, jika dikira-kira secara teknis. Belum dengan biaya visa, penginapan, transport disana dan tiket pulang. Maka, salah besar jika teman-teman menganggap bahwa kami literally bergantung hanya pada dana-dana CSR perusahaan.

Banyak sekali hal yang telah kami lakukan, dimulai dari jualan selempang wisuda yang keuntungannya minim dan butuh kerja ekstra, hingga berkonsultasi dengan ahlinya bidang kewirausahaan bahkan beliau bersedia untuk membimbing kami dalam menghasilkan dana. Kalau dipikir-pikir sekarang, Allah telah mempertemukan kita dengan banyak ‘tangan-tangan’-Nya dan mencoba memberi penjelasan satu per satu. Dalam merencanakan proyek ngehasilin duit sambil wirausaha dengan ahlinya ini, kami bertemu dengan satu statement yang keluar dari mulut Bapak ahli. Pahit kedengarannya, namun ada aamiin yang tetap harus diucapkan didalamnya, begini katanya, “Kali aja nanti kalo usahanya jalan, malah bisa jadi jalan kalian nyetak lebih banyak uang dan lapangan pekerjaan, dan manfaat kepada sekitar, ga cuma buat jalan ke luar negeri. Toh, bisa jadi kalian gak jadi ikut konferensinya, tapi berkembang usahanya.” Tuhkan nyesek dikit, haha. Kami kan ingin dua-duanya jalan, Pak.

Perkataan sang Bapak Ahli sedikit banyak ada benarnya juga. Bahwa kita harus menyisipkan ikhlas dalam dada jika pengharapan tidak dikabulkan, atau diganti dengan yang lain. Sambil tetap berharap yang baik-baik. Belajar ikhlas, belajar tawakkal. Karena ilmunya doa juga berkata demikian, tidak serta merta doa dikabulkan sesuai dengan yang kita pintakan, jawabannya bisa jadi; Iya, sekarang. Iya, nanti. Iya, diganti dengan yang lebih better.

Dan, hingga kurang dari seminggu dari jadwal keberangkatan, setelah menunjukkan ilmu ikhlas, ilmu tidak menunda, ilmu berusaha hingga batas waktu, serta ilmu tidak jemu berdoa, akhirnya Allah berikan jawaban agar dengannya kami bisa menentukan arah yang harus dilaksanakan. Jawaban doa saat itu adalah, iya yang kedua dan ketiga, yang ntah kapan nantinya, yang ntah bagaimana gantinya.

Kurang dari seminggu dan baru mempersiapkan visa ke Amerika adalah hal yang ceroboh. Walaupun sudah mengira-ngira konsekuensi yang akan kita hadapi, tapi tetap saja ada rasa kecewa yang muncul ketika tau jadwal wawancara untuk visa hingga hari keberangkatan telah fully booked seluruhnya. Sepertinya, sudah waktunya, untuk berpisah dengan Amerika. Kami hanya harus tinggal memikirkan untuk mengembalikan dana sponsorship yang telah diterima lalu berjuang untuk negara lain yang lebih feasible untuk disinggahi. Toh, dari awal aku telah menyangka bahwa Amerika itu terlalu hebat dan mempesona.

Masa-masa transisi antara menerima realita dan merencanakan ekspektasi baru, terasa lebih lama. Kami memiliki janji  masing-masing yang harus ditepati, maka perjuangan tidak boleh berakhir disini. Walaupun, kami masih belum tau harus bagaimana setelah ini, tapi kami tetap saja menawarkan selempang-selempang wisuda, kami tetap mencari konferensi menjanjikan apasaja yang bisa dilamar, kami tetap saja mencari peluang usaha yang dapat menghasilkan uang. Hingga ujungnya, satu puncak yang harus diperhatikan, soal hubungan kita dan Pemilik Semesta.


source: writer gallery :)

Seorang kenalan pernah berkata begini ketika dia mengetahui aku berencana untuk mengunjungi benua Amerika bareng Teh Juan, yang sudah sungguh berpengalaman dalam hal peng-konferesi-an. Begini katanya, “Bareng Teh Juan, Al? Pasti berangkat sih.” Beuh, pertama kali mendengar ucapan itu aku senang bukan kepalang, merasa sangat beruntung dibandingkan yang lain. Tapi ternyata, plot twist terjadi 180o dan kembali aku dapatkan satu pelajaran yang sungguh menyentil akibat berharap dengan sungguh-sungguh kepada manusia yang cukup lemah dan tidak tahu apa-apa, dan agar hanya melangitkan harap kepada Dia.


oOo

Berita gembira hadir kembali setelah sekian lama aku menyimpan tulisan ini. Takut jika sewaktu-waktu kita tidak benar-benar menuju Amerika. Namun, akhirnya aku paham dengan judul tulisan yang aku buat sendiri ini. Bahwa, catatan menuju Amerika adalah catatan yang memberi pelajaran--bahkan ketika masih 'menuju'. Maka tidak boleh resah jika sewaktu-waktu tulisan ini tidak bisa menjadi 'Catatan selama di Amerika'.

Namun, Allah memang bersama mereka yang berusaha dan bekerja keras.
Singkat cerita, akhirnya kita diberi kesempatan untuk andil di Konferensi lainnya, dengan tema yang tidak jauh berbeda dan maha hebatnya adalah, tempatnya tetap di Amerika. Bahkan jika sebelumnya kita berencana hadir di konferensi yang bertempat di San Diego, California, USA. Sekarang, kita berkesempatan untuk mengikuti konferensi yang dilaksanakan di Harvard Medical School, Boston, Massachusetts, USA.

Iya, Harvard. Sekolah impianmu juga ya?

Kali ini, kami sudah belajar banyak harus bagaimana. Hal-hal 'dasar' dianggap sudah harus tanggap. Namun, ada hal dasar yang harus terus-menerus diperbarui, perihal niat. Sulit memang, hingga berbulan-bulan kami telah diajarkan untuk meluruskan niat hingga puncaknya ketika keputusan tidak jadi berangkat pun bulat. Maka kali ini, tentu niat yang berbelok dahulu itu harus kembali dibenarkan. Agar Dia tidak 'ragu' memberikan kata kun fayakun untuk kita ke Amerika. Niatkan, hanya karena Allah. Jika kamu ingin ikut konferensi ilmiah karena ingin mengkontribusikan ilmu pengetahuanmu, maka niatkan itu karena Allah, karena agama Allah, karena titel muslimmu. Jika kamu ingin keliling dunia, maka niatkan itu karena Allah, karena ingin melihat kuasaNya menciptakan bumi yang sungguh luas dan beragam.

Jika teman-teman bertanya, hal apa yang harus dipersiapkan setelah niat? Maka aku akan menjawab, amal yaumi, yap, ibadah yang harus dijaga rutinitasnya.
Kali ini kami tidak ingin kecolongan lagi. Pada kesempatan sebelumnya, ikhtiar menuju Amerika sudah sedikit banyaknya menanamkan kebiasaan untuk rutin shalat dhuha, sedekah dan qiyamullail. Berbagai metode kita pakai agar shalat dhuha terlekat menjadi kebiasaan, dimulai dari pengingat dan laporan rutin, denda duit yang ga nanggung-nanggung nominalnya, hingga ancaman 'gak jadi berangkat' yang ternyata beneran kejadian.

Namun, pada kesempatan kali ini, pembuktian telah merutinkan ibadah tidak lagi harus karena orang lain, atau karena tidak ingin kehilangan nominal karena denda, atau karena alasan-alasan keduniaan lainnya. Perjalanan ini (jika Allah izinkan) haruslah menjadi titik balik, harus menjadi titik tumbuhnya iman dan titik tumbuhnya taqwa.

Maka, jika kamu memiliki impian untuk keliling dunia namun tidak tau harus memulai darimana, maka aku sarankan untuk meluruskan niat, lalu perbaiki ibadah. Rutinkan yang wajib, lalu tingkatkan kualitas, lalu rutinkan yang sunnah, lalu tingkatkan kualitasnya, lalu minta kepada Allah agar menjaga ibadah ini, agar Dia jadikan itu kebiasaan, agar ia bantu luruskan niat ibadah menjadi karena-Nya.

Jika menurutmu, hal yang aku paparkan di atas terdengar cliche. Aku setuju.
Tapi percayalah, aku telah melewati fase itu, fase meragukan bahwa ibadah adalah salah satu bentuk ikhtiar. Namun kini, gadis yang meragukan itu hanya bisa manut-manut kecil dan mengiyakan, bahwa tiada daya dan upaya yang dapat diusahakan kecuali dengan kuasa Allah. Dan bagaimana mungkin berani meminta Allah untuk mewujudkan suatu jalan, jika menuju kesana saja kita enggan, malas-malasan, tidak mau berusaha bangun tengah malam, lalu berdoa panjang-panjang, merayu-Nya.

Lalu, akhirnya aku tiba di titik ini, satu bulan tepat sebelum benar-benar terbang ke bumi bagian sebelah sana. Dengan tabungan yang belum bertambah ukuran nominalnya, namun semoga dengan iman dan keyakinan kepada Allah yang jauh berlipat dibandingkan sebelumnya.


Doakan agar Allah izinkan, semoga.
August 17, 2018 No comments
Pernah aku tuliskan sebelumnya disini, bahwa aku adalah penerima manfaat Beasiswa Pemimpin Bangsa oleh Sinergi Foundation. Sebuah program yang dirancang untuk mencetak pemimpin berkarakter melalui program beasiswa yang diberikan selama 8 semester perkuliahan, ditujukan kepada mereka yang memiliki kendala di sektor ekonomi. Setelah membaca tulisan yang aku tuliskan tepat setahun yang lalu itu, asli bikin aku senyam-senyum sendiri. Betapa banyak pelajaran yang dititipkan selama bertahun-tahun aku memiliki predikat penerima manfaat BPB ini. Like, perjalanan menuju ke titik ini sungguh lika-liku dan gak pernah ada di ekspektasi aku sebelumnya.

Lucu aja, baca-baca ulang tulisan yang aku tulis ketika sedang capek-capeknya, dengan emosi dan hikmah yang dicoba dikait-kaitin wkwkwk. And look at us now, we changed a lot! Dari berbagai aspek.

Jika dulu untuk bisa nyampe ke Jatinangor, setiap pagi harus naik angkot dari jam setengah 6 subuh kurang, supaya jam 6 nya bisa ngejar damri di simpang Katamso. Akhirnya, setahunan terakhir kita kedatangan gojek dan grab yang buat kita bisa lebih luang siap-siap ke pool damrinya langsung, gak perlu memperhitungkan lama dan gak pastinya si angkot ngetem. Kalau dulu, untuk naik travel kalo baliknya udah malam harus mikir 1453 kali, tapi sekarang karena paginya kita naik bis gratis, ongkos pagi bisa kita alokasikan untuk biaya travel malamnya. Gak harus motong jatah uang jajan hari esok, gak harus berjam-jam nungguin bis Bandung-Cirebon yang gak datang-datang, atau gak harus ketipu sama mang angkot di terminal Cicaheum yang katanya angkotnya gak bakal ngetem tapi malah nyaris setengah jam berhenti nungguin penumpang yang lain, padahal di waktu yang sama ruang obrolan di LINE sudah penuh sama temen kelompok yang nagihin tugas.

Kita yang jadikan kesempatan itu ada.
Awal sekali masuk asrama beasiswa, teman-temanku masih 'kaget' sama peraturan yang buat kita harus berpakaian islami, apalagi kalo mau datang ke kantor beasiswa. Temenku paling malas dipaksa pake rok, sudah nyaman dengan legging dan jeans-nya. Bukan berarti menolak, dia yang jadikan kesempatan itu ada. Liatlah temanku itu sekarang, sudah cantik di balik gamis dan roknya yang tetap modis. Heran dan gak habis pikir dengan dirinya yang dulu.
Lalu ada lagi, temanku yang lain. Paling senang memakai kerudung paris yang setipis jaringan santan di dapur. Sekarang, doi jadi bosnya produk kerudung syar'i yang udah dibeli sama siapa aja. Allahu akbar!
Satu lagi dari sekian banyak. Temenku yang dulunya paling bocah dan yang paling gak bisa dibilangin, sekarang tetap masih bocah, tapi jadi orang yang paling seneng ngingatin hal kecil yang sering terluput oleh ingatan. Diingatkan agar pakai kaos kaki walau hanya ke warung depan, diingatkan kalau ngelipat kerudungnya kependekan, diingatkan kalau belum dhuha.
Lalu perlahan-lahan, kita yang buat kesempatan berubah menjadi lebih baik itu ada. Kita yang harus cari lingkungan kondusif dan mendukung itu ada. Wait, am I crying?!


please welcome; my hero di pulau Jawa <3

Hal di atas bisa aku tuliskan di laman ini, karena hal yang sederhana.
Beberapa hari yang lalu, mamak bercerita bahwa begitu banyak temannya yang sedang ngos-ngosan nyari biaya pendidikan untuk anaknya yang juga merantau ke pulau Jawa.
Beberapa hari yang lalu pula, om Muksal bertanya soal perkualiahanku. Beliau sudah tidak sabar ingin menjadikan aku apoteker penanggung jawab di apoteknya, alamak!
Beberapa hari yang lalu pula, ketika aku pulang ke rumah minek(re: nenek) di kampung. Bertemu dengan teman bermainku dulu yang sedang kesulitan menyelesaikan skripsinya dan memilih bekerja kasar saja dibanding melanjutkan kuliah.
Beberapa hari yang lalu pula, dengan mata kepala sendiri aku melihat betapa banyak hal yang harus ditingkatkan di Aceh. Sudut pandang dan stigma yang harus diluruskan.

Benar katanya.
Jalan yang jauh, jangan lupa pulang.

Akhir-akhir ini entah mengapa sulit sekali mencari motivasi untuk kuliah dengan giat dan semangat. Namun pulang ke rumah sedikit banyaknya membuat kita sadar akan banyak hal. Soal niatan di permulaan, soal titik-titik hidup yang dicoba hubungkan, soal kebiasaan baik yang dicoba untuk dipertahankan, soal realita yang luput tertangkap oleh mata, soal syukur dan nikmat yang banyak didapatkan, soal ekspektasi dan harapan yang masih digantungkan, soal doa yang selalu menjadi teman di perjalanan.

Untuk bisa tiba di titik ini, ada banyak sekali skenario-Nya yang tidak pernah diimpikan sebelumnya.
Banyak hal yang harus aku syukuri dibandingkan mengeluh karena sedikit rintangan yang harus diperjuangkan. Bisa bertemu dengan orang-orang hebat dan menghebatkan di atas, bisa bersusah-susah menjadi mahasiswa, bisa bertemu dengan segala rupa alur kehidupan yang tidak disangka sebelumnya. Alhamdulillah.



Banda Aceh, sedang liburan.
Semoga selalu menjadi hamba yang syukur,

Alya
August 17, 2018 No comments
Jika ada yang menyangka bahwa kami memutuskan ke Amerika begitu saja tanpa memperjuangkan negara lain, maka itu salah besar. Awalnya, kami telah memperjuangkan Jepang selama 2 bulan, Paris dan Turki masing-masing kurang lebih satu bulan. Amerika terlalu mewah dan wow, tidak berani aku pribadi mimpi tinggi-tinggi kesana. Namun ternyata begini jalannya, tarik nafas yang dalam, dan kami mencoba memperjuangkan si Amrik. Negara Paman Sam yang menyilaukan mata, yang gak pernah muncul di bucket list-nya Alya.

Ntah berapa kali proposal direvisi, birokrasi berganti-ganti dan banyak lagi printilan yang buat perjalanan menuju Amerika ini bernilai. Aku dan tim, berangkat ke Amerika tidak semudah itu. Ya, maklum saja, keinginan kita untuk tidak mengeluarkan dana pribadi sepeser pun termasuk dari orang tua yang menjadi motivasi. “Gak mau tau, pokoknya ke Amerika harus gratis!” kata kami belagu. Latar belakang keluargaku dan tim bukan dari kalangan menengah ke atas. Jika bukan karena Allah yang memberikan keyakinan kepada kami dan keluarga, maka sepertinya berkunjung ke Amerika tentu akan ditolak bulat-bulat. “Mending duitnya dipake nabung untuk haji.” Mungkin Mamak akan bilang begitu. Qadarullahu maa syaa-a, dan Allah yang Maha Membolak-balikkan Hati, mudah pula baginya untuk menyeragamkan ‘iya’ dari masing-masing mulut mamak, ayah, mama, bapak dan ibu kami. Alhamdulillah.

Kembali ke perjuangan.
Berkali-kali proposal harus direvisi. Big thanks to Dias, sang designer ternama tim kami yang tidak jemu-jemu (Alumni tim Jasmine sih~). Ketika proposal telah siap dilayangkan, apa daya, giliran birokrasi yang seperti tidak punya haluan, gonta-ganti terus jalurnya. Mencoba merayu kampus untuk mensubsidi, namun hasilnya nol besar. Padahal keberangkatan tim sebelumnya, kampus memberikan bantuan.

“Ah, baiklah. Yang punya duit itu Allah, bukan kampus.” Kami menghibur diri.

Salah satu hal yang sangat aku takutkan dalam perjalanan menuju Amerika ini, bukan terletak pada jumlah finansial yang masih awang-awang kabarnya (walaupun ini juga penting varah), atau bagaimana kualitas artikel paper yang harus kami selesaikan agar dapat dipublikasikan menjadi jurnal internasional, atau hal-hal ‘dasar’ lain yang masih bisa saling mem-back up dalam penyelesaiannya. Namun adalah soal kesiapan dan kepantasan-tuh kan abstrak.

Takuuut sekali menjadi tidak pantas memiliki titel ‘sudah-pernah-ke-Amrik’, takut sekali jika perjalanan ini tidak bermakna apa-apa, takut jika perjuangan ini bernilai dunia saja. Hanya sebatas, mewujudkan mimpi berkeliling dunia, itu sih semua orang juga bisa memimpikannya. Aku takut sekali, jika sebelum berangkat dan setelah berangkat, tidak dapat aku temukan perbedaan pada diri ini. Sama saja, begitu saja, gak ada bedanya. Tetap menjadi Alya yang keras kepala, yang suka menunda, yang tidak mengutamakan Dia, yang sombong dan angkuhnya meraja, na’udzubillahi min dzalik.

Maka, dari awal Teh Juan telah mengingatkan, untuk selalu meminta kepada Allah.
“Ya Allah, berikanlah kami keputusan yang dengannya akan bertambah iman kami.”
Maka setiap rintangan ke depannya yang akan aku ceritakan ringkas disini, semoga dalam menghadapinya aku akan selalu berpegang teguh pada doa itu. Selalu meminta Allah untuk menunjukkan jalan terbaik versi-Nya dalam mewujudkan perjalanan ini. Selalu meminta Allah untuk menebalkan tauhid di dalam dada, agar hanya berharap pada-Nya. Apa pun keputusan akhirnya nanti. Berangkat atau tidak, maka tidak akan timbul penyesalan karena apa yang kita harapkan adalah keputusan terbaik yang dengannya akan menambah iman kami.


source: unsplash
Kembali ke pembahasan. Sebenarnya kami memiliki waktu yang cukup panjang, kurang lebih setengah tahun lebih satu bulan untuk akhirnya benar-benar terbang ke Amerika. Tapi ternyata memulai segalanya dari nol itu tidak gampang, karena ada banyaaaak sekali urusan yang harus dipersiapkan. Menyelesaikan paper, ngurusin visa (gimana ribetnya ngurusin visa Amerika akan aku bahas nanti), pembayaran beda mata uang (dan banyakan bayarnya pake kartu kredit, ya mahasiswa kaya kita mana punya), tiket pesawat, penginapan dan buanyaaak lagi. Maka akhirnya kami dihadapkan pada realita, H-14 sebelum jadwal keberangkatan menjadi puncaknya kepanikan. Tiket pesawat belum dibeli, visa juga belum dibuat, dan masalah utamanya adalah, duit belum masuk ke rekening dari pelbagai sponsor sepeser pun. Mantap.

Waktu terus berlanjut, waktu keberangkatan kurang dari seminggu lagi, namun keadaanku dan tim masih sama. Kali saja keajaiban seperti di film-film muncul di saat-saat seperti ini, harapku. Dan benar saja, pada hari kami akan memutuskan untuk lanjut atau tidak, berita bahagia itu muncul bak pelita dalam kegelapan. Bank Rakyat Indonesia ngasih sponsor, dan nominalnya cukup besar. Baiklah, perjuangan harus dilanjutkan, walaupun nominal itu masih sangat jauh dari kata cukup, tapi Allah udah ngasih aba-aba.

Dimulai dari titik ini, aku kembali mendapatkan pelajaran. Pelajaran untuk tidak menunda setiap detik yang berharga. Kenapa harus ngebut-ngebut dan ngos-ngosan di akhir ketika sebenarnya kita punya waktu yang panjang untuk mempersiapkan segalanya (Ah, padahal gue kan demen SKS-an). Pelajaran selanjutnya, berusaha semaksimal mungkin, walaupun waktunya serasa gak mungkin(?). Pernah dengar Hadist Nabi SAW yang memerintahkan kita memaksimalkan segala perbuatan walaupun esok hari adalah hari kiamat?
“Jika kiamat terjadi dan salah seorang di antara kalian memegang bibit pohon kurma, lalu ia mampu menanamnya sebelum bangkit berdiri, hendakalah ia bergegas menanamnya.” (HR Bukhari dan Ahmad).
Dan aku merasa menjadi tokoh yang dibicarakan dalam hadist ini ketika memperjuangkan perjalanan menuju Amerika di waktu mepet tersebut. Alamak.

Lalu, gimana Al?

Kusudah ngantuk gaes, kulanjut nanti-nanti yah! Makasih telah membaca sampai titik ini. Semoga kita adalah golongan yang tebal tauhidnya. Aamiin :)
April 24, 2018 No comments
Halo semuanya. Selamat datang di blog gue. Buat kalian yang baru pertama kali singgah ke blog ini, welcome to my mind’s jungle wohoho. Don’t expect too much, I’ll just write down anything that ‘disturb’ my day while trying to figure out some ‘lessons’ behind them, or else randomly.

Baiklah, kali ini aku mau berbagi cerita tentang satu hal yang lumayan menforsir otak belakangan ini. Hal ini bisa dibilang gak pernah aku bayangin seumur hidup akan begini caranya. Yaps, asal mula aku bisa punya riwayat akan berkunjung ke Amerika. Kita flashback sebentar, here we go!

oOo

Dari bangku sekolah dasar, aku emang udah di-doktrin sama ayah untuk kuliah di luar negeri, saat itu tujuannya adalah Malaysia. Ayah yang punya banyak kenalan dari negeri tetangga, sering mendengar desas-desus beasiswa apa saja yang disediakan Pemerintah Malaysia serta Universitas apa saja yang bisa dijadikan tujuan. Singkat cerita, Malaysia terus terngiang di kepala hingga akhirnya aku melanjutkan studi sekolah menengah pertama di Pesantren Tgk. Chiek Oemar Diyan, pesantren modern paling diakui se-Aceh (seeh~). Maka tidak heran, banyak kakak kelasku di Pesantren yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan aliyahnya (setara dengan SMA) lalu melanjutkan studi di luar negeri. Negara yang paling popular saat itu adalah Mesir dan Turki.

Kami yang saat itu masih menjadi santri menerima kiriman foto secara berkala yang dikirim via pos oleh kakak kelas yang melanjutkan studi mereka di luar negeri. Fix, kiriman foto itu berhasil membuat aku iri dan buat aku punya cita-cita untuk belajar di Mesir dan Turki. Jadi, begitulah mulanya aku bisa tergila-gila dengan Azzam di film Ketika Cinta Bertasbih. Oke, lanjut.

Jenjang SMA terlewati. Harapan besar untuk bisa melanjutkan kuliah di luar negeri walaupun aku sudah bukan alumni pesantren masih ada. Namun, dua tahun seleksi diikhtiarkan, selama dua tahun pula tidak dibukakan jalan kesana. Baiklah, aku sudah terbiasa. Lagipula lingkungan kampusku yang sekarang cukup kondusif untuk mengembangkan diri, serta Allah memberikan paket spesial untukku selama berkuliah berupa beasiswa penuh. Life must go on dan cita-cita berkunjung ke berbagai negara masih ada—dan akan selalu ada.

Soal beasiswa yang aku dapatkan selama kuliah, kami para penerima manfaatnya diwajibkan untuk tinggal di sebuah asrama khusus. Dari asrama ini pula, catatan perjalanan ini dimulai.

Banyak wacana yang belum terealisasi dari mimpi-mimpi yang sempat kami ungkapkan bersama di asrama. Seperti nabung untuk umroh bareng, lalu membuka perpustakaan dan bimbel untuk anak-anak tetangga dan banyak lagi. Salah satunya, kami pernah mencetuskan untuk pergi ke Harvard University bersama-sama. Aku yang punya cita-cita mulia ingin berkeliling dunia, tentu senang bukan kepalang. Namun, namanya juga mahasiswa, eksistensi Harvard masih belum benar-benar buat kami ‘yok!’ dibandingkan tugas kampus, tuntutan organisasi di depan mata dan banyak lagi. Apalagi kami merencanakannya untuk bertiga belas. Terlalu luas, tidak spesifik dan gak berani dibayangkan. Yang mencetuskan ini adalah Pembina asrama kami, Teh Juan. Melihat bagaimana realita yang berjalan, maka haluan akan rencana ini dibelokkan sementara. Ide untuk membagi-bagi kami menjadi beberapa bagian yang lebih kecil pun menjadi pilihan. Akhirul kalam, aku dan tim menjadi geng kedua untuk diterbangkan.

source: google
Jika ada yang bertanya-tanya, dalam rangka apa Alya kesana?
Jadi, tajuk keberangkatan kami ini adalah mengikuti konferensi ilmiah internasional.

Awalnya, paper yang aku ajukan diterima oleh beberapa konferensi di berbagai negara. Paris-France, Istanbul-Turki (yes my love!), Jepang (Hokaido, Tokyo dan Osaka) dan San Diego-Amerika. Hingga bagaimana proses seleksi alamnya aku lupa, akhirnya pilihan ter-fix untuk kita wujudkan adalah Amerika!! Well, I realized that USA is not a game. But, let’s give a try and challenge myself!

Baiklah, aku rasa segini dulu postingan kali ini. Nantikan postingan selanjutnya beserta berbagai struggles yang harus kami taklukkan wohoho. See you!
February 01, 2018 No comments
Newer Posts
Older Posts

Blog Archive

  • ►  2020 (2)
    • ►  August (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2019 (1)
    • ►  January (1)
  • ▼  2018 (7)
    • ▼  October (2)
      • Catatan Selama di Amerika #2 - Mendarat
      • Catatan Selama di Amerika #1 - Review BCIA
    • ►  August (3)
      • Ketemu Pak Presiden (w/ broken english)
      • Catatan Menuju Amerika - part 3
      • Menjadi seorang Penerima Manfaat - part 2
    • ►  April (1)
      • Catatan Menuju Amerika - part 2
    • ►  February (1)
      • Catatan Menuju Amerika - part 1
  • ►  2017 (2)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)

Labels

China Reflections Student Life travel USA

Popular Posts

  • Catatan Menuju Amerika - part 3
  • Catatan Selama di Amerika #3 - Bertemu
  • Catatan Selama di Amerika #1 - Review BCIA
  • Catatan Menuju Amerika - part 2
by Alya Mahira Kudri. Powered by Blogger.

Hey!

Hey there!
Thank you for visiting. Hopefully, you'll take something good from this page. If you think something here would help someone out there, please do share it forward. Subscribe to be the first to know whenever I've updated my blog :)

Follow Me

Created with by ThemeXpose