Catatan Menuju Amerika - part 2

by - April 24, 2018

Jika ada yang menyangka bahwa kami memutuskan ke Amerika begitu saja tanpa memperjuangkan negara lain, maka itu salah besar. Awalnya, kami telah memperjuangkan Jepang selama 2 bulan, Paris dan Turki masing-masing kurang lebih satu bulan. Amerika terlalu mewah dan wow, tidak berani aku pribadi mimpi tinggi-tinggi kesana. Namun ternyata begini jalannya, tarik nafas yang dalam, dan kami mencoba memperjuangkan si Amrik. Negara Paman Sam yang menyilaukan mata, yang gak pernah muncul di bucket list-nya Alya.

Ntah berapa kali proposal direvisi, birokrasi berganti-ganti dan banyak lagi printilan yang buat perjalanan menuju Amerika ini bernilai. Aku dan tim, berangkat ke Amerika tidak semudah itu. Ya, maklum saja, keinginan kita untuk tidak mengeluarkan dana pribadi sepeser pun termasuk dari orang tua yang menjadi motivasi. “Gak mau tau, pokoknya ke Amerika harus gratis!” kata kami belagu. Latar belakang keluargaku dan tim bukan dari kalangan menengah ke atas. Jika bukan karena Allah yang memberikan keyakinan kepada kami dan keluarga, maka sepertinya berkunjung ke Amerika tentu akan ditolak bulat-bulat. “Mending duitnya dipake nabung untuk haji.” Mungkin Mamak akan bilang begitu. Qadarullahu maa syaa-a, dan Allah yang Maha Membolak-balikkan Hati, mudah pula baginya untuk menyeragamkan ‘iya’ dari masing-masing mulut mamak, ayah, mama, bapak dan ibu kami. Alhamdulillah.

Kembali ke perjuangan.
Berkali-kali proposal harus direvisi. Big thanks to Dias, sang designer ternama tim kami yang tidak jemu-jemu (Alumni tim Jasmine sih~). Ketika proposal telah siap dilayangkan, apa daya, giliran birokrasi yang seperti tidak punya haluan, gonta-ganti terus jalurnya. Mencoba merayu kampus untuk mensubsidi, namun hasilnya nol besar. Padahal keberangkatan tim sebelumnya, kampus memberikan bantuan.

“Ah, baiklah. Yang punya duit itu Allah, bukan kampus.” Kami menghibur diri.

Salah satu hal yang sangat aku takutkan dalam perjalanan menuju Amerika ini, bukan terletak pada jumlah finansial yang masih awang-awang kabarnya (walaupun ini juga penting varah), atau bagaimana kualitas artikel paper yang harus kami selesaikan agar dapat dipublikasikan menjadi jurnal internasional, atau hal-hal ‘dasar’ lain yang masih bisa saling mem-back up dalam penyelesaiannya. Namun adalah soal kesiapan dan kepantasan-tuh kan abstrak.

Takuuut sekali menjadi tidak pantas memiliki titel ‘sudah-pernah-ke-Amrik’, takut sekali jika perjalanan ini tidak bermakna apa-apa, takut jika perjuangan ini bernilai dunia saja. Hanya sebatas, mewujudkan mimpi berkeliling dunia, itu sih semua orang juga bisa memimpikannya. Aku takut sekali, jika sebelum berangkat dan setelah berangkat, tidak dapat aku temukan perbedaan pada diri ini. Sama saja, begitu saja, gak ada bedanya. Tetap menjadi Alya yang keras kepala, yang suka menunda, yang tidak mengutamakan Dia, yang sombong dan angkuhnya meraja, na’udzubillahi min dzalik.

Maka, dari awal Teh Juan telah mengingatkan, untuk selalu meminta kepada Allah.
“Ya Allah, berikanlah kami keputusan yang dengannya akan bertambah iman kami.”
Maka setiap rintangan ke depannya yang akan aku ceritakan ringkas disini, semoga dalam menghadapinya aku akan selalu berpegang teguh pada doa itu. Selalu meminta Allah untuk menunjukkan jalan terbaik versi-Nya dalam mewujudkan perjalanan ini. Selalu meminta Allah untuk menebalkan tauhid di dalam dada, agar hanya berharap pada-Nya. Apa pun keputusan akhirnya nanti. Berangkat atau tidak, maka tidak akan timbul penyesalan karena apa yang kita harapkan adalah keputusan terbaik yang dengannya akan menambah iman kami.


source: unsplash
Kembali ke pembahasan. Sebenarnya kami memiliki waktu yang cukup panjang, kurang lebih setengah tahun lebih satu bulan untuk akhirnya benar-benar terbang ke Amerika. Tapi ternyata memulai segalanya dari nol itu tidak gampang, karena ada banyaaaak sekali urusan yang harus dipersiapkan. Menyelesaikan paper, ngurusin visa (gimana ribetnya ngurusin visa Amerika akan aku bahas nanti), pembayaran beda mata uang (dan banyakan bayarnya pake kartu kredit, ya mahasiswa kaya kita mana punya), tiket pesawat, penginapan dan buanyaaak lagi. Maka akhirnya kami dihadapkan pada realita, H-14 sebelum jadwal keberangkatan menjadi puncaknya kepanikan. Tiket pesawat belum dibeli, visa juga belum dibuat, dan masalah utamanya adalah, duit belum masuk ke rekening dari pelbagai sponsor sepeser pun. Mantap.

Waktu terus berlanjut, waktu keberangkatan kurang dari seminggu lagi, namun keadaanku dan tim masih sama. Kali saja keajaiban seperti di film-film muncul di saat-saat seperti ini, harapku. Dan benar saja, pada hari kami akan memutuskan untuk lanjut atau tidak, berita bahagia itu muncul bak pelita dalam kegelapan. Bank Rakyat Indonesia ngasih sponsor, dan nominalnya cukup besar. Baiklah, perjuangan harus dilanjutkan, walaupun nominal itu masih sangat jauh dari kata cukup, tapi Allah udah ngasih aba-aba.

Dimulai dari titik ini, aku kembali mendapatkan pelajaran. Pelajaran untuk tidak menunda setiap detik yang berharga. Kenapa harus ngebut-ngebut dan ngos-ngosan di akhir ketika sebenarnya kita punya waktu yang panjang untuk mempersiapkan segalanya (Ah, padahal gue kan demen SKS-an). Pelajaran selanjutnya, berusaha semaksimal mungkin, walaupun waktunya serasa gak mungkin(?). Pernah dengar Hadist Nabi SAW yang memerintahkan kita memaksimalkan segala perbuatan walaupun esok hari adalah hari kiamat?
“Jika kiamat terjadi dan salah seorang di antara kalian memegang bibit pohon kurma, lalu ia mampu menanamnya sebelum bangkit berdiri, hendakalah ia bergegas menanamnya.” (HR Bukhari dan Ahmad).
Dan aku merasa menjadi tokoh yang dibicarakan dalam hadist ini ketika memperjuangkan perjalanan menuju Amerika di waktu mepet tersebut. Alamak.

Lalu, gimana Al?

Kusudah ngantuk gaes, kulanjut nanti-nanti yah! Makasih telah membaca sampai titik ini. Semoga kita adalah golongan yang tebal tauhidnya. Aamiin :)

You May Also Like

0 comments