Catatan Menuju Amerika - part 3
Kali ini, tulisan akan sedikit panjang. Aku gabungkan cerita soal
harapan yang terpaksa dibuang dan realita yang tidak pernah ada pada
daftar keinginan di buku catatan sebelumnya. Semoga ada yang dapat dibawa
pulang :)
oOo
Jika temen-temen berkenan nge-cek harga tiket pesawat untuk perjalanan ke Amerika, maka harga yang paling murah yang bisa didapatkan adalah sekitar 10 jutaan hanya untuk ongkos pergi. Lantas duit di rekening (hasil sponsor sementara) hanya bisa memberangkatkan seorang saja, jika dikira-kira secara teknis. Belum dengan biaya visa, penginapan, transport disana dan tiket pulang. Maka, salah besar jika teman-teman menganggap bahwa kami literally bergantung hanya pada dana-dana CSR perusahaan.
Banyak sekali hal yang telah kami lakukan, dimulai dari jualan selempang wisuda yang keuntungannya minim dan butuh kerja ekstra, hingga berkonsultasi dengan ahlinya bidang kewirausahaan bahkan beliau bersedia untuk membimbing kami dalam menghasilkan dana. Kalau dipikir-pikir sekarang, Allah telah mempertemukan kita dengan banyak ‘tangan-tangan’-Nya dan mencoba memberi penjelasan satu per satu. Dalam merencanakan proyek ngehasilin duit sambil wirausaha dengan ahlinya ini, kami bertemu dengan satu statement yang keluar dari mulut Bapak ahli. Pahit kedengarannya, namun ada aamiin yang tetap harus diucapkan didalamnya, begini katanya, “Kali aja nanti kalo usahanya jalan, malah bisa jadi jalan kalian nyetak lebih banyak uang dan lapangan pekerjaan, dan manfaat kepada sekitar, ga cuma buat jalan ke luar negeri. Toh, bisa jadi kalian gak jadi ikut konferensinya, tapi berkembang usahanya.” Tuhkan nyesek dikit, haha. Kami kan ingin dua-duanya jalan, Pak.
Perkataan sang Bapak Ahli sedikit banyak ada benarnya juga. Bahwa
kita harus menyisipkan ikhlas dalam dada jika pengharapan tidak dikabulkan,
atau diganti dengan yang lain. Sambil tetap berharap yang baik-baik. Belajar
ikhlas, belajar tawakkal. Karena ilmunya doa juga berkata demikian, tidak serta
merta doa dikabulkan sesuai dengan yang kita pintakan, jawabannya bisa jadi;
Iya, sekarang. Iya, nanti. Iya, diganti dengan yang lebih better.
Dan, hingga kurang dari seminggu dari jadwal keberangkatan,
setelah menunjukkan ilmu ikhlas, ilmu tidak menunda, ilmu berusaha hingga batas
waktu, serta ilmu tidak jemu berdoa, akhirnya Allah berikan jawaban agar
dengannya kami bisa menentukan arah yang harus dilaksanakan. Jawaban doa saat
itu adalah, iya yang kedua dan ketiga, yang ntah kapan nantinya,
yang ntah bagaimana gantinya.
Kurang dari seminggu dan baru mempersiapkan visa ke Amerika adalah
hal yang ceroboh. Walaupun sudah mengira-ngira konsekuensi yang akan kita
hadapi, tapi tetap saja ada rasa kecewa yang muncul ketika tau jadwal wawancara
untuk visa hingga hari keberangkatan telah fully booked seluruhnya.
Sepertinya, sudah waktunya, untuk berpisah dengan Amerika. Kami hanya harus
tinggal memikirkan untuk mengembalikan dana sponsorship yang
telah diterima lalu berjuang untuk negara lain yang lebih feasible untuk
disinggahi. Toh, dari awal aku telah menyangka bahwa Amerika itu terlalu hebat
dan mempesona.
Masa-masa transisi antara menerima realita dan merencanakan
ekspektasi baru, terasa lebih lama. Kami memiliki janji masing-masing
yang harus ditepati, maka perjuangan tidak boleh berakhir disini. Walaupun,
kami masih belum tau harus bagaimana setelah ini, tapi kami tetap saja
menawarkan selempang-selempang wisuda, kami tetap mencari konferensi
menjanjikan apasaja yang bisa dilamar, kami tetap saja mencari peluang usaha
yang dapat menghasilkan uang. Hingga ujungnya, satu puncak yang harus
diperhatikan, soal hubungan kita dan Pemilik Semesta.
source: writer gallery :) |
Seorang kenalan pernah berkata begini ketika dia mengetahui aku berencana untuk mengunjungi benua Amerika bareng Teh Juan, yang sudah sungguh berpengalaman dalam hal peng-konferesi-an. Begini katanya, “Bareng Teh Juan, Al? Pasti berangkat sih.” Beuh, pertama kali mendengar ucapan itu aku senang bukan kepalang, merasa sangat beruntung dibandingkan yang lain. Tapi ternyata, plot twist terjadi 180o dan kembali aku dapatkan satu pelajaran yang sungguh menyentil akibat berharap dengan sungguh-sungguh kepada manusia yang cukup lemah dan tidak tahu apa-apa, dan agar hanya melangitkan harap kepada Dia.
oOo
Berita gembira hadir kembali setelah sekian lama aku menyimpan tulisan ini. Takut jika sewaktu-waktu kita tidak benar-benar menuju Amerika. Namun, akhirnya aku paham dengan judul tulisan yang aku buat sendiri ini. Bahwa, catatan menuju Amerika adalah catatan yang memberi pelajaran--bahkan ketika masih 'menuju'. Maka tidak boleh resah jika sewaktu-waktu tulisan ini tidak bisa menjadi 'Catatan selama di Amerika'.
Namun, Allah memang bersama mereka yang berusaha dan bekerja keras.
Singkat cerita, akhirnya kita diberi kesempatan untuk andil di Konferensi lainnya, dengan tema yang tidak jauh berbeda dan maha hebatnya adalah, tempatnya tetap di Amerika. Bahkan jika sebelumnya kita berencana hadir di konferensi yang bertempat di San Diego, California, USA. Sekarang, kita berkesempatan untuk mengikuti konferensi yang dilaksanakan di Harvard Medical School, Boston, Massachusetts, USA.
Iya, Harvard. Sekolah impianmu juga ya?
Kali ini, kami sudah belajar banyak harus bagaimana. Hal-hal 'dasar' dianggap sudah harus tanggap. Namun, ada hal dasar yang harus terus-menerus diperbarui, perihal niat. Sulit memang, hingga berbulan-bulan kami telah diajarkan untuk meluruskan niat hingga puncaknya ketika keputusan tidak jadi berangkat pun bulat. Maka kali ini, tentu niat yang berbelok dahulu itu harus kembali dibenarkan. Agar Dia tidak 'ragu' memberikan kata kun fayakun untuk kita ke Amerika. Niatkan, hanya karena Allah. Jika kamu ingin ikut konferensi ilmiah karena ingin mengkontribusikan ilmu pengetahuanmu, maka niatkan itu karena Allah, karena agama Allah, karena titel muslimmu. Jika kamu ingin keliling dunia, maka niatkan itu karena Allah, karena ingin melihat kuasaNya menciptakan bumi yang sungguh luas dan beragam.
Jika teman-teman bertanya, hal apa yang harus dipersiapkan setelah niat? Maka aku akan menjawab, amal yaumi, yap, ibadah yang harus dijaga rutinitasnya.
Kali ini kami tidak ingin kecolongan lagi. Pada kesempatan sebelumnya, ikhtiar menuju Amerika sudah sedikit banyaknya menanamkan kebiasaan untuk rutin shalat dhuha, sedekah dan qiyamullail. Berbagai metode kita pakai agar shalat dhuha terlekat menjadi kebiasaan, dimulai dari pengingat dan laporan rutin, denda duit yang ga nanggung-nanggung nominalnya, hingga ancaman 'gak jadi berangkat' yang ternyata beneran kejadian.
Namun, pada kesempatan kali ini, pembuktian telah merutinkan ibadah tidak lagi harus karena orang lain, atau karena tidak ingin kehilangan nominal karena denda, atau karena alasan-alasan keduniaan lainnya. Perjalanan ini (jika Allah izinkan) haruslah menjadi titik balik, harus menjadi titik tumbuhnya iman dan titik tumbuhnya taqwa.
Maka, jika kamu memiliki impian untuk keliling dunia namun tidak tau harus memulai darimana, maka aku sarankan untuk meluruskan niat, lalu perbaiki ibadah. Rutinkan yang wajib, lalu tingkatkan kualitas, lalu rutinkan yang sunnah, lalu tingkatkan kualitasnya, lalu minta kepada Allah agar menjaga ibadah ini, agar Dia jadikan itu kebiasaan, agar ia bantu luruskan niat ibadah menjadi karena-Nya.
Jika menurutmu, hal yang aku paparkan di atas terdengar cliche. Aku setuju.
Tapi percayalah, aku telah melewati fase itu, fase meragukan bahwa ibadah adalah salah satu bentuk ikhtiar. Namun kini, gadis yang meragukan itu hanya bisa manut-manut kecil dan mengiyakan, bahwa tiada daya dan upaya yang dapat diusahakan kecuali dengan kuasa Allah. Dan bagaimana mungkin berani meminta Allah untuk mewujudkan suatu jalan, jika menuju kesana saja kita enggan, malas-malasan, tidak mau berusaha bangun tengah malam, lalu berdoa panjang-panjang, merayu-Nya.
Lalu, akhirnya aku tiba di titik ini, satu bulan tepat sebelum benar-benar terbang ke bumi bagian sebelah sana. Dengan tabungan yang belum bertambah ukuran nominalnya, namun semoga dengan iman dan keyakinan kepada Allah yang jauh berlipat dibandingkan sebelumnya.
Doakan agar Allah izinkan, semoga.
0 comments